“Mau melihat-lihat keraton ini, Nak ?”, ucapnya mengawali
pembicaraan.
“Iya..Pak !”, sapaku
“Mari silahkan Nak ! …panggil saja saya Wiro dan silahkan bertanya
kalau ada yang kurang jelas akan keterangan saya atau apa saja. Kalau dengar
tutur katanya, Anak dari Sumatera yah ?”.
“Benar Pak !, asal saya dari Sumatera Utara tepatnya, Pak, dan
panggil saja saya Dewa.”
Lalu kami mulai berjalan.
Ternyata dia adalah salah seorang dari penduduk negeri tersebut yang
mengabdi dengan setia kepada raja serta pembesar-pembesar istana.
Sambil menikmati perjalanan mengelilingi istana tersebut aku mendengar pengarahan dan bertanya pada abdi
tersebut.
Kuhisap rokok yang sedari tadi tidak lepas dari mulut ini, aku
bertanya pada abdi tersebut.
“Apa yang Bapak peroleh selama mengabdi di istana ini
?
Dia tersenyum
sambil memandangku sekilas.
“Banyak nak !”, ujarnya
“Banyak dalam hal apa Pak ?”
“Apakah harta maksud Bapak ?” ujarku lebih
lanjut.
“Harta bukan
menjadi ukuran ketenangan, Nak ! Berapapun rejeki yang kita terima dari Gusti
Yang Kuasa kita wajib mensyukurinya. Bagi Bapak dan keluarga, saling mengasihi,
jujur dan percaya serta tidak neko-neko akan menciptakan ketenangan dan
kedamaian dalam keluarga saya”.
Lalu dia
menarik nafas sejenak dan melanjutkan ceritanya.
“Anak saya
ada empat orang dan semuanya sudah menjadi sarjana dan sudah bekerja. Sekarang
saya tinggal bersama ibu menghabiskan hari tua kami.”
“Darimana Bapak mendapatkan dana yang cukup untuk menghidupi keluarga
dan menyekolahkan kesemua anak Bapak ?”, potongku lebih lanjut karena
penasaran.
Dengan wajah tenang sambil tersenyum dia menjawab, “Itu semua rejeki
yang diberikan Yang Maha Kuasa. Secara finansial seperti kata orang bule itu,
rasanya Bapak pun nggak percaya ! Coba kamu simak, penghasilan Bapak dari
mengabdi ini cuma sekitar tiga puluh ribu rupiah tapi kami sekeluarga
mensyukurinya bahwa masih diberi rejeki, tapi ternyata Yang Kuasa masih memberi
lebih kepada kami”.
Aku kagum sekaligus malu.
Mengapa aku kagum ? Ternyata masih ada orang
yang berpikir sederhana, mensyukuri rejeki yang diberikan dan berhasil membina
keluarganya.
Malu ? Yah…. aku malu pada diriku sendiri karena seminggu yang lalu aku
menuntut upah yang lebih besar dari tempatku bekerja padahal upahku sampai saat
ini lima belas kali lipat dari upah abdi tersebut tapi aku masih menuntut lebih
lagi dengan alasan upahku yang sekarang tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupku
sendiri dengan harga-harga yang semakin hari semakin
naik.
Aku terlalu bodoh karena aku tidak mensyukuri apa yang sudah
diberikan tapi aku masih selalu menuntut lebih. Aku merasa kecil dibandingkan
Bapak tersebut !
“… jangan terlalu lama pandangi
langit”
Porsea, 24 January 2001
Pernah
dimuat di warta Toba Pulp Lestari – No.04/I/2004|Oktober 2004|Tahun I
Marvell Christian Siregar™
manusia hanyalah mahluk tuhan yang serakah dan tidak ada puasnya,jika tidak disadari maka akan membawah diri kita akan keangkuhan dan ketamakan yang akan meghancurkan hidup kita sendiri,kesederhanaan lebih membuat kita bersyukur dan tenang dalam kehidupan.syukuri apa yang diberikan TUHAN kepada kita walaupun itu hanya setetes air.
BalasHapusjangan pernah tamak,hiduplah sedrhana dan selalu syukuri apa yang menjadi rizki kita
Setuju saudaraku
Hapus