Rabu, 07 Maret 2012

Perjalananku | Mensyukuri nikmat dan karunia Yang Kuasa

Suatu ketika dalam perjalananku ke suatu negeri yang terkenal akan kebudayaan dan penduduknya yang ramah serta masih percaya dan tunduk akan rajanya sampai saat ini. Kumulai lalui hari ini dengan melangkahkan kaki menuju keraton tempat bersemayamnya para raja dan keluarganya. Aku tidak tahu dan sama sekali buta akan lingkungan itu dan aku berharap ada yang mau membantuku, dan….pucuk dicinta ulampun tiba !. Datanglah seorang bapak yang sudah agak berumur dengan mengenakan pakaian khas daerah ini menghampiri dan menjabat tanganku.
“Mau melihat-lihat keraton ini, Nak ?”, ucapnya mengawali pembicaraan.
“Iya..Pak !”, sapaku

“Mari silahkan Nak ! …panggil saja saya Wiro dan silahkan bertanya kalau ada yang kurang jelas akan keterangan saya atau apa saja. Kalau dengar tutur katanya, Anak dari Sumatera yah ?”.

“Benar Pak !, asal saya dari Sumatera Utara tepatnya, Pak, dan panggil saja saya Dewa.”

Lalu kami mulai berjalan.

Ternyata dia adalah salah seorang dari penduduk negeri tersebut yang mengabdi dengan setia kepada raja serta pembesar-pembesar istana.

Sambil menikmati perjalanan mengelilingi istana tersebut aku mendengar pengarahan dan bertanya pada abdi tersebut.

Kuhisap rokok yang sedari tadi tidak lepas dari mulut ini, aku bertanya pada abdi tersebut.

“Apa yang Bapak peroleh selama mengabdi di istana ini ?

Dia tersenyum sambil memandangku sekilas.

“Banyak nak !”, ujarnya

“Banyak dalam hal apa Pak ?”

“Apakah harta maksud Bapak ?” ujarku lebih lanjut.

“Harta bukan menjadi ukuran ketenangan, Nak ! Berapapun rejeki yang kita terima dari Gusti Yang Kuasa kita wajib mensyukurinya. Bagi Bapak dan keluarga, saling mengasihi, jujur dan percaya serta tidak neko-neko akan menciptakan ketenangan dan kedamaian dalam keluarga saya”.

Lalu dia menarik nafas sejenak dan melanjutkan ceritanya.

“Anak saya ada empat orang dan semuanya sudah menjadi sarjana dan sudah bekerja. Sekarang saya tinggal bersama ibu menghabiskan hari tua kami.”

“Darimana Bapak mendapatkan dana yang cukup untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan kesemua anak Bapak ?”, potongku lebih lanjut karena penasaran.

Dengan wajah tenang sambil tersenyum dia menjawab, “Itu semua rejeki yang diberikan Yang Maha Kuasa. Secara finansial seperti kata orang bule itu, rasanya Bapak pun nggak percaya ! Coba kamu simak, penghasilan Bapak dari mengabdi ini cuma sekitar tiga puluh ribu rupiah tapi kami sekeluarga mensyukurinya bahwa masih diberi rejeki, tapi ternyata Yang Kuasa masih memberi lebih kepada kami”.

Aku kagum sekaligus malu.

Mengapa aku kagum ? Ternyata masih ada orang yang berpikir sederhana, mensyukuri rejeki yang diberikan dan berhasil membina keluarganya.

Malu ? Yah…. aku malu pada diriku sendiri karena seminggu yang lalu aku menuntut upah yang lebih besar dari tempatku bekerja padahal upahku sampai saat ini lima belas kali lipat dari upah abdi tersebut tapi aku masih menuntut lebih lagi dengan alasan upahku yang sekarang tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupku sendiri dengan harga-harga yang semakin hari semakin naik.

Aku terlalu bodoh karena aku tidak mensyukuri apa yang sudah diberikan tapi aku masih selalu menuntut lebih. Aku merasa kecil dibandingkan Bapak tersebut !

“… jangan terlalu lama pandangi langit”


Porsea, 24 January 2001
Pernah dimuat di warta Toba Pulp Lestari  – No.04/I/2004|Oktober 2004|Tahun I




Marvell Christian Siregar™

2 komentar:

  1. manusia hanyalah mahluk tuhan yang serakah dan tidak ada puasnya,jika tidak disadari maka akan membawah diri kita akan keangkuhan dan ketamakan yang akan meghancurkan hidup kita sendiri,kesederhanaan lebih membuat kita bersyukur dan tenang dalam kehidupan.syukuri apa yang diberikan TUHAN kepada kita walaupun itu hanya setetes air.
    jangan pernah tamak,hiduplah sedrhana dan selalu syukuri apa yang menjadi rizki kita

    BalasHapus