Tapi aneh bercampur heran, ada sesuatu yang menyita perhatianku. Aku tidak menemukan orang-orangan sawah dan tali temali yang malang melintang dihamparan sawah tersebut yang dipergunakan untuk mengusir burung yang akan memakan butiran padi. Kujejakkan kaki ke tanah dan menikmati hal yang baru ini dan membuat rasa penasaran.
Belum habis rasa ingin tahuku, kulihat seorang petani paruh baya yang sedang berjalan menuju dangau. Aku menghampirinya dan memulai percakapan.
”Selamat
siang, Pak !” dan beliau membalas sapaanku ”Selamat siang juga Nak !”
”Maaf ya
Nak, saya mau cuci tangan dulu sebentar dan kita ngobrolnya di dangau saja
sambil istirahat biar enak” ujarnya lebih lanjut sambil bergegas ke parit kecil
ditepian pematang.
”Baik
Pak”
Aku juga
ikut cuci tangan di parit sawah yang dialiri air yang sejuk dan bersih bersama
bapak itu. Setelah itu kami bergegas dan menaiki tangga dangau, dan Bapak
tersebut menuangkan teh manis ke dalam gelas dan singkong rebus. Damai sekali saat pandangan kuarahkan ke hamparan sawah.
”Silahkan Nak !, hanya teh manis dan singkong rebus saja yang ada !”
Kami lalu
menyeruput teh manis dan masing-masing mengambil singkong. ”Enak tenan......”, ucapku.
Lalu aku
memulai percakapan ”Sedari tadi saya pandangi hamparan sawah milik bapak ada
sesuatu yang mengganjal dihati pak”Bapak itu tersenyum bijak
”Benar
lho pak !!!”
”Biasanya
bila padi mulai menguning, para petani pasti akan disibukkan dengan membuat
orang-orangan sawah dan membuat tali-temali yang melintang diatas petak-petak
sawah yang dipergunakan untuk mengusir burung-burung yang hendak memakan padi,
tapi ini sama sekali tidak ada...Bukankah burung musuh para petani ketika musim
panen ?”Senyum kembali menghias di wajah bapak tersebut dan dia memakan ubi singkong kembali.
Sambil mengunyah, dia berkata ”Nak, berapa banyak seekor burung memakan padi ?”
”Apakah
mereka membawa kantongan sebagai bekal mereka ?”
”Burung
pipit hanya makan seadanya untuk keperluan hidup mereka dan mereka tidak perlu
membekali diri mereka dengan kantongan atau lumbung untuk menyimpan makanan.
Mereka bukanlah musuh para petani tapi juga makhluk Tuhan yang perlu hidup dan
sudah sewajarnyalah kita saling berbagi sesama makhluk Tuhan !!! Aku semakin penasaran dan dia menangkap rasa penasaranku tersebut.
Lanjutnya
dia mengatakan ”.......tanah yang subur sudah memberi kita tempat untuk
bercocok tanam demi kehidupan kita juga, bagaimana kalau tidak ?”
Aku mengerti sekarang
maksudnya bahwa saling berbagi dengan niat yang tulus dan ikhlas adalah sesuatu
yang indah tanpa perlu menghitung untung rugi.
Versi
editing “Burung pun Ingin Hidup dari
Sawah” pernah dimuat di TobaPulp Digest –
Edisi 4|April 2008|Tahun I
Marvell Christian
Siregar™
Tidak ada komentar:
Posting Komentar