Selasa, 27 Maret 2012

Guratan Arang | Bocah & Kemerdekaan

Kulangkahkan kedua kaki menyusuri tepian pematang
Terdengar sayup nyanyian serombongan bocah cilik

“Tujuh belas Agustus tahun empat lima
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka nusa dan bangsa
Hari lahirnya Bangsa Indonesia…”

Lambat tapi pasti suara itu mendekatiku
Kuhentikan langkah sejenak.
Bocah-bocah kecil berbaris dengan kaki berselimut debu
Bertelanjang dada dan dekil
Sambil berlari kecil panggul senjata pelepah pisang
Dengan merah putih kecil di tangan berlalu di depanku
Nyanyian terus berkumandang

Ku tersenyum…
Ku terharu…
Di wajah yang lugu tergaris senyum disertai gelak tawa
Ku tak tahu apakah itu ungkapan mereka akan kemerdekaan

Lambat tapi pasti suara itu menjauhiku
Sayup terdengar suara pekik “MERDEKA”
Tegakku diatas kedua kaki ini

Ku merenung…
Cukupkah perjuangan kita sampai disini ???
Belum sempat ku menjawab pekik itu hilang dikejauhan

Kubulatkan tekad,
Perjuangan tidak mengenal akhir
Terus gelorakan dan pekik kemerdekaan di dada kita
Anak Indonesia

Merdeka !
Merdeka !
Merdeka !




Dimuat di warta Toba Pulp Lestari – No.08/II/2005|Agustus 2005
Marvell Christian Siregar™

Senin, 26 Maret 2012

Sabtu, 24 Maret 2012

Guratan Arang | BMO




catatan :
bemo merupakan moda transport darat yang merupakan singkatan becak motor.
Inspirasi ini terlahir semasa penulis menggunakan jasa bemo sewaktu bersekolah dan dituangkan dalam coretan ini.

Marvell Christian Siregar™

Senin, 19 Maret 2012

Refleksi Merah Putih


Belum hilang dan masih segar dalam ingatan kita, ketika untuk pertama kali tim sepakbola Indonesia tampil berlaga di Piala Asia 2007 atau kejuaraan-kejuaraan bertaraf dunia , dimana sejenak setiap rakyat Indonesia seakan lupa dan terhipnotis dan lupa akan multi krisis yang sedang melanda bumi pertiwi ini. Kebhinekaan yang menjadi satu serta rasa nasionalisme yang kental sangat terasa saat tim Indonesia berjuang untuk memberikan kemampuannya yang terbaik di pentas dunia demi Indonesia Raya. Jatuh bangun para pemain yang berjibaku menunjukkan semangat yang pantang menyerah serta diiringi tepuk tangan riuh rendah dari masyarakat yang terus memberikan dukungan dan semangat seolah memberikan semangat dan tenaga baru bagi setiap anak negeri ini untuk berusaha semaksimal mungkin untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar.

Hati siapa dari anak negeri ini yang tidak tergetar dan membuat bulu kuduk merinding ketika Indonesia Raya berkumandang gagah membahana angkasa di penjuru jagad ini. 
“……marilah kita berseru
Indonesia bersatu…..
Hiduplah tanahku….
Hiduplah negriku….
Bangsaku….
Rakyatku….
Semuanya…..
Bangunlah jiwanya……
Bangunlah badannya…….
Untuk Indonesia Raya……..”

Sebagai anak negeri ini, pasti kita sangat merindukan Indonesia yang dulu, dimana segenap komponen bangsa ini sama-sama berjuang dengan darah, air mata, material berbekal semangat pantang menyerah dan semangat patriotisme dan dilandasi rasa nasionalisme dengan tidak mengenal suku, agama dan ras, serta doa yang dipanjatkan untuk mohon ridho-Nya merebut sebuah kemerdekaan yang bebas dari fasilitas persenjataan yang minim. Namun mengapa sekarang kita tidak bisa berbuat seperti itu lagi ?
Bila mendengar yel-yel “Indonesia….Indonesia….Indonesia” di setiap pertandingan olahraga internasional, sadar atau tidak sadar nurani kita akan tersentuh dan seperti ada semangat baru yang memotivasi kita untuk bangun menyatukan langkah dan berjalan bersama merebut kemerdekaan yang kedua yaitu lepas dari belenggu kemiskinan untuk tampil menjadi bangsa yang sejahtera adil dan makmur sesuai yang dicita-citakan para pendiri negeri ini.

Multi krisis yang mendera pada saat ini bukanlah menjadikan kita menjadi bangsa yang pesimis namun seharusnya menjadi cambuk yang melecut semangat kita untuk tetap optimis dan siap tampil dipanggung dunia sebagai bangsa yang besar dan bermartabat. Mari lepaskan semua atribut yang menghambat kemajuan dan tunjukkan bahwa sejak dahulu kala kita adalah bangsa yang besar dan terkenal dalam sejarah yang mampu berdiri tegak menatap masa depan bangsa yang lebih cerah. Menjadi utang segenap anak negeri untuk melanjutkan perjuangan dan mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Ya, untuk satu Indonesia Raya !!! 

Marvell Christian Siregar™

Jumat, 16 Maret 2012

Perjalananku | Bambu atau Beringin ?

Beberapa hari yang lalu, penulis bertemu seorang teman dan pada satu kesempatan dia mengatakan "pohon makin tinggi, makin kencang angin meniupnya"Benar dan imajiku tergelitik memaknai kalimat tersebut. Yup.... dan pilihanku jatuh pada 2 jenis pohon yang ada dalam pikiranku yaitu beringin (ini tidak ada kaitannya dengan kampanye lho !) dan bambu. Kedua pohon ini selalu dilarang untuk digambar dalam psikotes. Mengapa ?
Penulis beranggapan bahwa beringin (Moraceae fam) adalah tanaman yang rindang, dengan batang yang kokoh dan kekar serta akar yang menancap dalam kegelapan tanah dan terkesan angker dan terkadang orang memujanya karena diyakini suci dan dapat melindungi.

Bambu (Bambusoideae fam.), tanaman dengan akar serabut, memiliki batang yang beruas-ruas dan hidup membentuk rumpunan dan tumbuh subur disekitar sumber kehidupan seperti sungai, danau dan lain sebagainya. Menikmati suasana sejuk dibawah rumpun bambu dan mendengarkan alunan irama alam dari angin yang menerpa dedaunannya dan bunyi batang-batang bambu yang berderak-derak mengikuti angin berhembus, serta suara air yang mengalir. Tanaman ini sangat bermanfaat dan memiliki sisi ekonomis bagi kehidupan manusia.

Suatu saat Dewa Bayu ingin menguji kekuatan sang beringin yang tumbuh di puncak bukit. Dia mulai meniupkan angin perlahan, beringin tersenyum pada bayu dengan memamerkan kerindangan daunnya. Bayu kembali menghembuskan angin yang lebih kuat dari sebelumnya, namun beringin masih tersenyum sambil menunjukkan batangnya yang kekar. Bayu meniupkan angin yang lebih kencang dari sebelumnya dan beringin tertawa dengan menunjukkan akarnya yang kokoh dan menyembul diatas tanah dan mencengkeram bumi.

Akhirnya sampai pada puncaknya, bayu meniupkan angin yang lebih kencang lagi, dan sang beringin berpeluh berusaha bertahan dengan daun-daunnya yang rapat tumbuh disetiap dahan dan cabang-cabangnya mencoba memecah kekuatan angin dan meliuk kesana kemari, dibantu kekekaran batangnya serta akar nan kokoh tersebut berusaha sekuat tenaga bertahan menghadapi kekuatan sang bayu, namun tak kuasa bertahan sampai akhirnya terdengar "...krak...krak...krak buummm..." dan sang beringin pun terlepas dari bumi. Yang tersisa hanya akar yang tercabut dan tanah yang berserakan, batang yang tak menunjukkan keperkasaan dan daun serta dahan-dahan yang akan mengering. Dewa Bayu pun berlalu

Setelah beringin yang kokoh tumbang, bambu berikutnya mendapat giliran seperti yang diujikan pada beringin.

"Hai bambu, apakah kau siap menerima ujian dariku ?", ujar bayu kepada bambu.
Bambu berkata, "Wahai Sang Bayu yang perkasa, tentu dengan seijin-Nya kami siap menerimanya"

Dan anginpun bertiup "...wush...wush...wush !"

Singkat cerita sampai angin bertiup bak puting beliung mencoba mencabut bambu. Bambu mengikuti liukan angin kencang yang menerpa dan terdengar bunyi batang-batang bambu yang beradu "...pletak..ngeot..ngeot..pletak " dan sampai akhirnya Sang Bayu berhenti dan bertanya kepada bambu.

"Hei bambu, mengapa engkau tidak tumbang seperti beringin ? "

"Maaf Sang bayu, karena seijin-Nya walau tubuh kami yang kurus, lurus dan beruas dan semakin mengecil ke pucuknya selalu berusaha mencoba mengikuti gerakan arahmu bertiup, dan kami hidup dalam rumpun yang renggang sehingga membantu kami untuk memecah kekuatan angin, dan juga kami tidak menyalahkan angin yang bertiup", hanya itu saja.

Simple thing, seperti muatan filosofi kesederhanaan bambu dan negeri ini juga sudah membuktikannya pada masa perang kemerdekaan menghadapi penjajah. Pejuang dengan bambu runcing mampu menghadapi persenjataan yang lebih modern, namun dengan semangat kebersamaan seperti rumpun bambu dapat membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin bagi-Nya.

Tulisan ini bukan bermaksud untuk membandingkan karya-Nya karena semua karya-Nya baik adanya, namun bagi kita selalu akan ada kelebihan dan kekurangan yang harus dibenahi. Penulis pada saat ini sedang melihat dari satu sisi saja.

Tidaklah elok untuk selalu bersikap positive thinking, karena negatif juga diperlukan sebagai parameter. Cahaya yang yang menerangi manusia tercipta karena positif dan negatif. Bagaimana kita menilai diri kita sudah positif ?

"Kesederhanaan adalah kualitas diri yang terpancar dalam sikap & perilaku dan bukan ungkapan diri"

Marvell Christian Siregar™

Rabu, 07 Maret 2012

Marvell’s Short Story Today | 24052011

Dalam perjalananku hari ini, aku mendengar percakapan 2 anak lelaki sekitar 5-6 tahun usianya. Sang adik merengek sambil menangis meminta dibelikan biskuit coklat yang sedang dimakan anak lain. Karena abangnya kesal lalu berkata dengan logat yang kental "..zangan nangis kau, marah nanti pesawat sama kau..."

Sang adik lalu terdiam ;-)
nomaden experience | Marvell Christian Siregar™

Perjalananku | Angan-Angan di Ubun-Ubun


Dalam perjalananku pada satu kesempatan aku berhenti sejenak di sebuah kedai kopi demi menikmati secangkir kopi panas. Sambil menunggu kopi dibuatkan oleh pemilik warung, aku mendengarkan percakapan dari orang-orang yang juga turut minum kopi. Mereka membicarakan tentang betapa makin sulitnya kehidupan di negeri ini. Harga BBM yang akan naik, korupsi yang merajalela, hukum yang aneh, masalah pilkada sampai masalah impor beras dan pembatasan konsumsi beras. Aku menikmati dan mendengar percakapan tersebut dengan seksama.

”Dek, ini kopinya”, ujar pemilik warung.

”Makasih pak...”, sahutku kembali

Lalu aku mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celanaku dan memasang api untuk menyalakan batang rokokku, dan kemudian menghisapnya perlahan dan membuang asapnya seperti seekor naga yang mengeluarkan api dari mulutnya.

Terbit angan-angan dibenakku mencoba mencari jawaban dari kegundahan anak negeri ini. Bola lampu menyala pertama seakan-akan timbul diubun-ubunku. BBM, yah itu dia ! Dulu bangsa ini termasuk negara pengekspor minyak, karena negara ini juga kaya dengan hasil bumi fosil itu. Namun ironis dengan kondisi sekarang yang menjadi pengimpor minyak dikarenakan belum maksimalnya pengelolaan di negeri kaya ini dan semakin meningkatnya konsumsi pemakaian bahan bakar seiring pertumbuhan kenderaan yang sangat pesat berakibat semakin besarnya subsidi yang ditanggung pemerintah. Aku juga awam apakah semakin banyak mobil berseliweran dan roda dua merupakan indikator kemakmuran suatu negara ? Mungkin ada baiknya di negeri ini perlu pembatasan jumlah kenderaan, selain subsidi dapat ditekan juga dapat mengurangi kemacetan karena ruas jalan tidak bertambah dan mengurangi polusi juga.
Aku menyeruput kopiku dan betapa nikmatnya saat aroma kopi menyentuh hidungku.

Bola lampu kedua kembali menyala, Pilkada adalah inspirasiku berikutnya. Di negeri ini orang berebut untuk menjabat posisi terhormat walau kadang ditempuh dengan cara yang yang tidak hormat. Sering kita mendengar ada pejabat yang baru menjabat sudah tersandung kasus korupsi.......Biang yang satu ini juga turut andil menyengsarakan kehidupan di negeri ini. Uang adalah akar kejahatan, tepat sekali ! Saat benih ketamakan dan kerakusan bersemayam orang berusaha mengambil shortcut. Nilai-nilai reliji yang ditanamkan sejak kecil bagai jejak kaki di tepi pantai saat ombak menghapus jejak itu. Saat masa umbar janji, semua demi masyarakat ! Bermilyar-milyar dana habis digelontorkan demi ambisi.
Rokok kembali kuisap dan membasahi bibirku dengan kopi.

Aku berpikir, mengapa para kandidat pemilihan tidak berpikir andai pada masa kampanye mereka bersatu untuk bersama-sama mendirikan atau memperbaiki gedung-gedung sekolah dari dana kampanye mereka yang bernilai wah itu sehingga akan lebih banyak lagi anak negeri ini yang dapat bersekolah. Sehingga disatu sisi sudah ada dampak yang mereka perbuat yang menyentuh langsung kehidupan. Bandingkan saja apabila masa kampanye berapa banyak kertas-kertas cetakan yang terbuang-buang begitu saja yang artinya juga berapa banyak pohon yang ditebang. Belum lagi menempeli kertas di setiap tempat seperti halte, rumah-rumah, sarana umum yang mengganggu nilai estetika dan juga berapa biaya membersihkannya? Belum lagi pepohonan yang menjerit karena tubuhnya dipaku dengan beraneka slogan-slogan kampanye !

Aku berhenti berangan-angan sejenak sambil melihat keadaan di warung tersebut. Orang semakin ramai dan pembicaraan semakin hangat. Dan aku juga tidak mau kalah mengambil gorpis yang masih hangat dan memasukkannya ke mulut.....

Butiran beras masuk dalam bola lampuku yang ketiga. Negeri ini pernah swasembada beras bahkan pernah mengekspor beras juga. Sehingga dimasa itu orang yang makanan pokoknya bukan beras diajak untuk mengkonversi pola makannya dengan beras. Lahan persawahan yang luas, intensifikasi pertanian, penelitian benih yang bekerja ekstra keras. Namun nasibnya sekarang sama dengan BBM. Lahan persawahan dikonversi menjadi bangunan-bangunan perumahan, kelapa sawit. Para sarjana-sarjana pertanian negeri ini lebih memilih berkarir di kantor daripada harus berpeluh diterpa sinar mentari. Para petani kehilangan lahan garapan akhirnya hijrah ke kota mencari hidup dan nasib sebagai petani tidak menjanjikan. Kita semakin terseret pusaran dan tidak sadar sampai akhirnya suatu ketika kita terhenyak karena tidak melihat beras lagi dilumbung !

Sekarang kita diminta untuk kembali memakan singkong, sagu dan mengurangi mengkonsumsi beras dikarenakan negeri ini salah satu penyumbang penderita penyakit gula terbesar di dunia ! Cukup beralasan, namun apakah tindakan kita melihat pengkonversian lahan sawah dimana-mana menjadi rumah-rumah mewah? Mengapa tidak para petani-petani itu saja yang kita jadikan PNS ? Mengapa para ahli-ahli dan sarjana pertanian tidak lebih diberdayakan. Sejak masih di bangku sekolahan ini guru selalu mengatakan negeri yang agraris namun miris membayangkannya kelak menjadi pengimpor sejati terbesar didunia untuk semua komoditi dan menjadi pengemis di rumah yang mewah.

Negeri ini penuh dengan orang-orang pintar dan sok pintar dari berbagai disiplin ilmu dan beraneka alumni, namun seakan-akan negeri ini berjalan di tempat tanpa pijakan. Kadang ku berfikir apakah semakin banyak orang pintar membuat negeri ini semakin menjauh dari pelabuhan kemakmuran karena keegoisan yang semakin tumbuh menjamur dan merasa paling benar ?  Negeri ini tidak perlu banyak orang pintar apalagi sok pintar, tapi negeri ini butuh orang yang cerdik cendekia dan bijaksana serta mau berbuat untuk negeri ini.

Aku menghabiskan kopiku dan membayarnya lalu pergi bergegas berlari-lari kecil karena langit sudah mendung dan sebentar lagi hujan.

“bila kegagalan bagai hujan, dan keberhasilan bagai matahari, maka butuh keduanya untuk melihat pelangi”


Dimuat di TABLOID GEMMA – Edisi IV│April 2012
Marvell Christian Siregar™

Perjalananku | Burung di Hamparan Sawah

Pada suatu kesempatan ketika dalam perjalanan, pandanganku tertuju pada hamparan sawah yang menguning. Betapa indahnya melihat hamparan padi yang menguning disawah bila musim panen telah tiba. Senyum bahagia terpancar dari wajah-wajah para petani. Tetesan keringat para petani terbayar sudah dengan kerja keras.
Tapi aneh bercampur heran, ada sesuatu yang menyita perhatianku. Aku tidak menemukan orang-orangan sawah dan tali temali yang malang melintang dihamparan sawah tersebut yang dipergunakan untuk mengusir burung yang akan memakan butiran padi. Kujejakkan kaki ke tanah dan menikmati hal yang baru ini dan membuat rasa penasaran.

Belum habis rasa ingin tahuku, kulihat seorang petani paruh baya yang sedang berjalan menuju dangau. Aku menghampirinya dan memulai percakapan.

”Selamat siang, Pak !” dan beliau membalas sapaanku ”Selamat siang juga Nak !”
”Maaf ya Nak, saya mau cuci tangan dulu sebentar dan kita ngobrolnya di dangau saja sambil istirahat biar enak” ujarnya lebih lanjut sambil bergegas ke parit kecil ditepian pematang.

”Baik Pak”
Aku juga ikut cuci tangan di parit sawah yang dialiri air yang sejuk dan bersih bersama bapak itu. Setelah itu kami bergegas dan menaiki tangga dangau, dan Bapak tersebut menuangkan teh manis ke dalam gelas dan singkong rebus.

Damai sekali saat pandangan kuarahkan ke hamparan sawah.
”Silahkan Nak !, hanya teh manis dan singkong rebus saja yang ada !”

Kami lalu menyeruput teh manis dan masing-masing mengambil singkong. ”Enak tenan......”, ucapku.
Lalu aku memulai percakapan ”Sedari tadi saya pandangi hamparan sawah milik bapak ada sesuatu yang mengganjal dihati pak”

Bapak itu tersenyum bijak

”Benar lho pak !!!”
”Biasanya bila padi mulai menguning, para petani pasti akan disibukkan dengan membuat orang-orangan sawah dan membuat tali-temali yang melintang diatas petak-petak sawah yang dipergunakan untuk mengusir burung-burung yang hendak memakan padi, tapi ini sama sekali tidak ada...Bukankah burung musuh para petani ketika musim panen ?”
Senyum kembali menghias di wajah bapak tersebut dan dia memakan ubi singkong kembali.

Sambil mengunyah, dia berkata ”Nak, berapa banyak seekor burung memakan padi ?”

”Apakah mereka membawa kantongan sebagai bekal mereka ?”
”Burung pipit hanya makan seadanya untuk keperluan hidup mereka dan mereka tidak perlu membekali diri mereka dengan kantongan atau lumbung untuk menyimpan makanan. Mereka bukanlah musuh para petani tapi juga makhluk Tuhan yang perlu hidup dan sudah sewajarnyalah kita saling berbagi sesama makhluk Tuhan !!!
Aku semakin penasaran dan dia menangkap rasa penasaranku tersebut.

Lanjutnya dia mengatakan ”.......tanah yang subur sudah memberi kita tempat untuk bercocok tanam demi kehidupan kita juga, bagaimana kalau tidak ?”
Aku mengerti sekarang maksudnya bahwa saling berbagi dengan niat yang tulus dan ikhlas adalah sesuatu yang indah tanpa perlu menghitung untung rugi.




Versi editing “Burung pun Ingin Hidup dari Sawah” pernah dimuat di TobaPulp Digest – Edisi 4|April 2008|Tahun I
Marvell Christian Siregar™

Guratan Arang | Sudako



 

Catatan : Sudako adalah sebutan untuk moda transportasi  di kota Medan yang pada masanya cukup terkenal  sebelum menjamurnya jenis angkot-angkot yang lain
Marvell Christian Siregar™

Perjalananku | to Live is to Love and to Share


Pernahkah anda menyaksikan tayangan reality show di tipi seperti Uang Kaget, Rejeki Nomplok, Tolong Dong !, Bedah Rumah, dan acara sejenis lainnya ?

Sebagai pemirsa kita hanyut dalam perasaan kemanusiaan yang mulai tenggelam, namun dengan acara ini seakan perasaan tersebut dibangkitkan kembali dari dasar hati.

Betapa tergetar hati dan bergidik saat menyaksikan tayangan tersebut dimana masih ada tangan-tangan kecil yang dengan rela dan tulus ikhlas mau membantu sesama yang mengalami nasib kurang beruntung walau terkadang yang membantu juga serba kekurangan ! Dan kita lebih terharu melihat orang yang ketiban rejeki kaget tersebut justru membagi-bagikan rejeki yang diperolehnya kepada sesama yang senasib dengannya !!!

Dan betapa kesal kita bahkan mengumpat melihat orang yang tidak mau mengulurkan tangannya sama sekali................!!!
 
Pelajaran apa yang dapat dipetik dari tayangan tersebut ?

Banyak sisi positif yang dapat diambil, diantaranya membuat rasa kemanusiaan kita kembali tergetar & tersentuh untuk lebih saling mengasihi dan membantu sesama manusia tanpa memandang siapa dan asal-usulnya.
 
Yang menjadi pertanyaan mungkin bagi kita adalah mengapa di saat-saat keadaan negeri ini acara tersebut berlomba-lomba ditayangkan di hampir semua televisi ? Gejala apa ini ? Apakah telah ada pergeseran nilai saling membantu diantara sesama manusia di negeri ini sehingga perlu diingatkan kembali betapa indahnya kasih diantara sesama manusia ?

Terlepas dari itu semua, kita memang sedang mengalami “krisis kasih”. Memang tidak bisa disalahkan penyebab keadaan ini. Kita lebih mementingkan diri kita untuk menjadi seorang yang egosentris dan juga kita menjadi antipati melihat orang yang kurang beruntung seperti pengemis di pinggir jalan yang telah menjadikan pekerjaannya tersebut sebagai objek bisnis. Kita perlu membenahi kembali dan menghidupkan perasaan yang paling hakiki dan dimiliki semua umat manusia yang ada di bumi ini untuk kembali bergandengan tangan, saling membantu dan mau dengan rela serta tulus ikhlas mengulurkan tangannya membantu sesama. Kita harus ingat bahwa kita adalah makhluk Tuhan yang sekaligus makhluk sosial yang mempunyai akal dan budi yang membentuk perasaan kemanusiaan pada diri kita untuk menjadi insan luar biasa yang hidup untuk mencintai dan melayani sesamanya.

Ditengah-tengah bencana yang berkecamuk melanda negeri ini ternyata masih banyak orang-orang dari penjuru bumi ini yang dengan tulus serta rela mengulurkan tangganya membantu saudara-saudara kita di Aceh dan Nias tanpa memandang asal-usul. Ini suatu sikap yang perlu kita bangkitkan kembali !

Roda kehidupan selalu berputar, ada saatnya kita membantu orang lain dan ada saatnya kita juga akan menerima bantuan dari orang lain, dan ingatlah bahwa masih banyak orang diluar sana yang masih membutuhkan uluran
kasih dari kita.

Pernah dimuat di warta Toba Pulp Lestari – No.04/II/2005|April 2005
Marvell Christian Siregar™

Perjalananku | Setungkul Benang


Pikiranku terusik oleh setungkul benang putih diatas mejaku. Aku memainkan benang yang masih terbungkus rapi dengan plastik dengan jari-jari tanganku. Lalu perlahan kubuka plastik pembungkusnya. Kuamati benang yang tersusun rapi di tungkul tersebut. Kemudian kucoba meraih ujung gulungan benang tersebut dengan lembut sambil pikiranku bermain dengan seribu tanya.
Aha...!!! Aku mendapatkan sebuah rahasia dari pengalaman kecil ini. Selama ini tidak pernah terpikirkan olehku bahwa setungkul benang yang ada dalam genggaman tanganku ternyata merupakan illustrasi kecil dari perjalanan hidup yang aku lalui.

Disaat aku meraih ujung benang itu, maka itulah awal kehidupanku dimulai. Rangkaian benang yang tersusun rapi itu lepas satu demi satu seiring waktu perjalanan hidup yang aku lalui di bumi ini. Apabila benang yang lepas itu tidak diraih oleh jemari tangan yang lain, maka benang yang lepas tersebut akan menjadi kusut. Aku paham bahwa dalam kehidupan ini ada yang menjaga dan mengawasi serta menuntun dalam setiap langkahku.

Sambil berpangku sebelah tangan sambil pandangi benang itu, otakku berfikir bahwa seutas benang akan sangat berguna bila ada jarum yang akan dipergunakan untuk menjahit sesuatu. Aku bayangkan bagaimana seorang penjahit pemula maupun ahli di bidang jahit menjahit yang memiliki banyak jarum namun tidak memiliki seutas benangpun................!!!

Selagi aku mengulur dan terus mengulur, akhirnya benang tersebut berakhir dan dia pun terlepas dari tungkulnya.

“Terima kasih buat setungkul benang yang memberi ilham buat tulisan ini”

Pernah dimuat di warta Toba Pulp Lestari – No.11/III/2006|Nopember 2006
Marvell Christian Siregar™

Perjalananku | Manajemen Sederhana Memancing


Pernahkah diantara para pembaca yang belum pernah memancing ? Yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah memancing dalam arti yang positif bukan memancing keributan. Beraneka ragam acara di tipi menayangkan kegiatan ini, seperti Mancing Mania, dan lain-lain. Nah kalau belum pernah, ada baiknya setelah membaca tulisan ini boleh mencoba kegiatan tersebut.

Memancing adalah salah satu bentuk kegiatan rekreasi yang “having fun” dan juga kita dapat belajar banyak tentang kesabaran dan keuletan dari kegiatan tersebut. Ada pendapat bahwa itu hanyalah membuang-buang waktu, namun jangan salah bahwa sekali lagi penulis sampaikan bahwa dari aktifitas tersebut sadar atau tidak sadar kita diuji tentang manajemen sederhana dimulai dari menentukan sasaran, pencarian lokasi, persiapan perlengkapan, dan lain sebagainya. Kemudian memilih strategi yang tepat untuk mencapai hasil yang maksimal, seperti memilih umpan yang tepat, cara melempar pancing, dan lain sebagainya. Sedang menunggu umpan dimakan ikan adalah suatu proses apakah kegiatan yang kita lakukan sebelumnya sudah benar atau belum, dan....bila keberuntungan berada dipihak kita maka kemungkinan besar ikan singgah di mata kail.

Nah, apakah para pembaca yang belum pernah memancing mulai terusik untuk mencoba kegiatan tersebut, siapa tahu peruntungan anda untuk mengaplikasikan yang penulis sampaikan sebelumnya. Bergegaslah sebelum para ikan berenang menjauh !!!

Pernah dimuat di warta Toba Pulp Lestari – No.11/III/2006|Nopember 2006
Marvell Christian Siregar™

Perjalananku | narabasek


Kesan pertama kali melihat judul tersebut pasti membuat anda bingung dan bertanya-tanya. Teka-teki apalagi yang dibuat sang Penulis ? Saya membuat sebuah illustrasi yang sederhana untuk membuka wawasan berfikir para pembaca, sehingga dapat menebak judul diatas.

Sejak kecil sampai pada saat kuliah dan mungkin sampai detik ini, orang tua saya menyebut saya sebagai “orang yang tidak sabar”. Mengapa ? Karena saya selalu berpikir secara instant dan selalu terburu-buru dalam menyikapi suatu persoalan dan bukan menikmati perjalanan dari suatu proses penyelesaian permasalahan, seperti ‘menanam benih semangka hari ini dan keesokan hari sudah berbuah’. Hal tersebut terus menjadi tanda tanya besar bagi diri saya.

Pada suatu ketika, saya mendapat pekerjaan dari orang tua saya dan membuat tertawa diri ini dan mungkin bagi anda. Mencabut rumput di pekarangan rumah ! Suatu pekerjaan yang membuat menggerutu dan geram. Dengan bersungut-sungut saya ambil cangkul, lalu rumput-rumput tersebut saya “gisgis”. Pekerjaan tersebut memang cepat selesai namun dua hari kemudian tunas-tunas rumput tersebut telah tumbuh kembali.

Saya termenung dan merenung !

Saya berpikir dan kemudian mengambil perkakas kerja dan mulai bekerja. Pertama sekali saya menentukan lokasinya dan kemudian rumput tersebut saya cabuti satu persatu sampai ke akar-akarnya.

Peluh mengucur dari tubuh yang diterpa sinar mentari pagi.

Sedikit demi sedikit pekarangan mulai kelihatan bersih dari rumput dan akhirnya tuntas. Ada kepuasan dari dalam diri yang jauh kadarnya dari yang telah dilakukan selama ini.

Saya sadar telah mendapat pengalaman baru dari suatu pelajaran hidup yang belum saya dapat selama ini. Cap sebagai orang yang tidak sabaran mulai saya kikis sedikit demi sedikit. Saya bukanlah orang yang sempurna dan tidak akan pernah menjadi sempurna, namun saya berusaha untuk menjadi sesuatu yang berguna bagi diri saya sendiri.
Apakah para pembaca sudah dapat menebak arti judul tersebut dan memahaminya ? Bila belum, cobalah menyusun huruf-huruf tersebut dengan petunjuk huruf yang terakhir menjadi yang pertama dan seterusnya. Bagaimana ?

Pernah dimuat di warta Toba Pulp Lestari – No.06/I/2004|Desember 2004|Tahun I
Marvell Christian Siregar™

Perjalananku | Harmoni

Semasa sekolah dulu sampai saat belum bekerja di perusahaan ini, sebagai pengisi waktu luang saya aktif dan tergabung dalam grup band. Selain membina mental juga untuk mengembangkan kreatifitas dan menghargai karya seni dari para seniman. Musik yang digandrungi anak muda saat itu beraliran blues, rock & heavy metal.

Saya memiliki talenta dan dapat memainkan hampir semua jenis alat musik walaupun belajar otodidak. Hal ini menimbulkan perasaan “lebih” dari teman-teman se-grup, dan mereka menyadarinya. Lalu mereka mengangkat saya sebagai “leader”. Dapat dibayangkan dengan jabatan tersebut membuat saya merasa melambung. Selain lebih dikenal dan pembagian honor pasti lebih gede dari teman-teman.

Singkat cerita, posisi tersebut membuat saya menjadi “diktator”, dan mengambil keputusan sendiri walau keputusan yang diambil terkadang bertentangan dihati teman-teman. Saya tidak mau tahu !

Perjalanan karir musik terus berputar bak roda pedati dari satu pentas ke pentas yang lain. Selama perjalanan tersebut, grup kani kerap gonta-ganti personil. Teman-teman yang ikut mendirikan grup tersebut saya pecat apabila tidak sejalan dengan ide saya.

Biasanya setiap latihan di studio, kami selalu merekam lagu-lagu yang dimainkan pada hari itu. Setiap malam saya selalu mendengarkan kembali hasil rekaman tersebut. Saya dengarkan setiap hari dan bandingkan dengan rekaman sebelumnya. Ada sesuatu yang hilang ?”, pikirku. Kuulangi terus sampai mata terpejam dan keesokan harinya kembali ku dengarkan. “Kok lagu ini gak sinkron ?”. Akhirnya kutemukan jawabnya, sebuah “harmoni” yang hilang dari lagu yang dimainkan.

Yah ! Baru aku tahu ! Semua pemain pada menonjolkan dirinya masing-masing dan merasa dirinya yang terhebat di grup. Hal ini cukup beralasan karena pemain lama digrup kami memiliki kemampuan yang merata dan tidak ada yang menonjol, namun karena tidak se-ide saya depak mereka. Lalu saya mencari pemain-pemain yang memiliki skill bagus baik performance maupun penguasaan alat.
 
Terakhir saya menyimpulkan bahwa bukan pintar dan lihainya seseorang dalam suatu grup band bisa menghasilkan rangkaian nada yang indah untuk menjadikan suatu lagu yang dapat dinikmati oleh pendengar. Saya bandingkan saat grup kami pertama berdiri dimana kami hanya memiliki kemampuan rata-rata, namun kebersamaan & perasaan yang sehati dan saling berbagi yang menimbulkan harmoni yang menjadi “nyawa” dari suatu lagu yang dimainkan walau apapun itu jenis musiknya ! Seperti ada ungkapan “Satu untuk semua dan semua untuk satu” !

Pernah dimuat di warta Toba Pulp Lestari – No.02/II/2005|Februari 2005
Marvell Christian Siregar™